Ia
bernama Karenina. Tinggal di sebuah desa terpencil dengan impian besar menjadi
seorang pianis terkenal. Meski pekerjaan
para orangtua hanyalah seorang penggarap kebun, tetapi semua anak seusia
Karenina di negeri ini wajib memiliki
keahlian di dunia seni. Ada yang pandai bernyanyi, bermain biola, gitar, piano
dan alat musik lainnya.
Saat
usianya 12 tahun, Karenina sudah mahir bermain piano dan banyak meraih
penghargaan sebagai pemain piano berbakat di tingkat kota. Ia sangat
mengidolakan Mahisyah, seorang pianis terkenal yang selalu berkostum ala
Cinderella disetiap penampilannya.
***
Suatu
hari di pusat kota, Karenina membaca papan pengumuman yang berisi tentang pertunjukkan
musik di kota seberang. Acara itu dihadiri oleh Mahisyah. Ia lalu berniat akan menghadiri
acara tersebut agar dapat bertemu Mahisyah dan menunjukkan kemampuannya
berpiano.
Saat
yang dinanti pun tiba. Disela acara yang tengah berlangsung ramai itu Karenina
berjalan mendekati Mahisyah yang sedang duduk anggun dengan baju kebesarannya.
Sementara Karenina yang menggunakan gaun pesta bernuansa putih dan perak, tak
sedikitpun berhenti membentangkan senyum pada sang idola. Mahisyah membalas
senyum Karenina dengan uluran tangan tanda perkenalan.
“Selamat
malam Mahisyah, perkenalkan aku Karenina,” sapa Karenina dengan sopan.
“Selamat
malam. Senang berkenalan denganmu, gadis
cilik!” jawab Mahisyah ramah.
“Aku
bermaksud meminta pendapatmu…” Karenina mulai memberanikan diri.
“Oh
ya? Tentang apa?” tanya Mahisyah dengan mata berbinar.
“Tentang
permainan pianoku. Aku sangat mengidolakanmu,” tutur Karenina dalam satu
tarikan napas.
Mahisyah
tampak diam seketika. Mengedarkan pandangan pada gadis cilik di hadapannya itu
dengan teliti. Membuat degub Jantung Karenina berdetak tak menentu.
“Kita
ke belakang panggung saja kalau begitu,” ucap Mahisyah mengejutkan. Bergegas ia
berdiri dan berbisik pada seseorang untuk menyiapkan piano di belakang
panggung.
Tak
berapa lama, Karenina sudah terduduk di depan piano. Dengan gaun pesta yang
menjuntai kain perak di bagian belakang tubuhnya, juga pita rambut berwarna
putih menghiasi kepalanya yang berponi, Karenina memulai permainannya dengan
tenang. Diam-diam ia berharap, Mahisyah
akan mengajaknya berkolaburasi. Memainkan piano berdua dengan dentingan hebat
dan menginspirasi para calon pianis di seluruh dunia. Jari-jari lentiknya terus
bergerak lincah menekan tuts berwarna hitam dan putih itu.
Namun
apa yang terjadi? Baru hitungan menit Karenina memainkan piano, Mahisyah
terlihat berdiri lalu meninggalkan tempat begitu saja. Langkahnya yang
tergesa-gesa seolah tak memberi kesempatan pada Karenina untuk menuntaskan
permainannya hingga akhir.
Deg!
Sesaat Karenina merasakan degub jantungnya berhenti. Gadis cilik itu dilanda
kebingungan. Sambil menatap kepergian Mahisya, mata Karenina berkaca-kaca
menahan tangis. Pertemuan itu sungguh membuatnya merasa tak berharga. Ia malu
dengan dirinya sendiri. Ternyata permainan pianonya di hadapan Mahisyah
belumlah seberapa dibandingkan prestasi yang telah diraihnya selama ini. Lalu
apa yang bisa diharapkannya sebagai penduduk Negeri Melodi?
Karenina
berlari meninggalkan gedung pertunjukkan musik dengan hatinya yang telah
hancur. Harapannya hilang sudah. Tak ada gunanya ia teruskan mimpi besar itu. Tak
ada yang perlu diperjuangkannya lagi kecuali melanjutkan hidupnya di desa
terpencil.
***
Kini
Ia bekerja membantu orangtuanya sebagai pemetik strowbery dan anggur di kebun buah
milik Tuan Harry. Perlahan, Karenina mulai mengubur mimpi besarnya yang pernah
ada. Berbagai lomba musik pun ia lewati, karena segala yang berhubungan dengan
musik sudah tak ingin disentuhnya lagi.
Lima tahun telah berlalu sejak Karenina
bekerja di perkebunan. Seperti biasa, Tuan Harry mengadakan acara yang cukup
mewah untuk memeriahkan pesta panen. Sebagai penduduk negeri Melodi, Tuan Harry
menggelar pesta musik rakyat dengan mengundang pianis wanita terkenal di masa
itu. Siapa lagi kalau bukan Mahisyah?
Mendengar nama yang tidak asing di telinganya,
Karenina pun teringat peristiwa yang sangat memalukan itu. Ia beranikan diri
menemui Mahisyah dengan sisa kecewa yang masih ada.
“Mahisyah,
ingatkah kamu denganku?” tegur Karenina tanpa senyum.
“Tentu
aku ingat. Kamu gadis cilik yang pernah menunjukkan permainan pianomu, bukan?”
jawab Mahisyah lancar.
“Iya,
betul. Kenapa malam itu kamu meninggalkanku begitu saja? Apa kamu tidak tahu, sikapmu
benar-benar membuatku merasa tidak berharga...” ungkap Karenina dengan wajah
sendu.
“Oh,
aku tidak meninggalkanmu, Karenina! Malam itu aku bergegas memanggil ayahku untuk menyaksikan penampilanmu
yang luar biasa itu. Gaunmu, permainanmu, sungguh mengagumkan!” kata Mahisyah
menjelaskan.
“Mengapa
kamu tidak bilang? Setidaknya aku bisa tahu bahwa kamu tidak sedang mengacuhkanku,”
sahut Karenina cepat.
“Itu
bukan kebiasaanku. Aku tidak pernah diajarkan mengganggu seseorang yang sedang
melantunkan nada dari jiwanya,” Mahisyah membela diri.
Karenina membisu. Matanya kembali
berkaca-kaca menyesali sikapnya yang salah dalam menilai seseorang.
“Perlu
kamu ketahui, sejak malam itu aku sudah merubah penampilanku. Lihat, kini
gaunku tidak seperti Cinderella lagi,” Mahisyah berputar pelan di hadapan
Karenina. “Penampilanmu malam itu sudah menginspirasiku dan membuat penggemarku
di negeri ini semakin banyak!”
Karenina
terperangah. Matanya membelalak kaget menyadari perubahan Mahisyah yang bergaun
persis seperti gaun yang dikenakannya di malam menyedihkan itu.
“Aku
sangat berterimakasih padamu Karenina. Bagaimana kalau kita berkolaburasi? Kita
guncang negeri ini dengan dentingan piano dari jari-jari cantik kita!” ajak
Mahisyah penuh semangat.
“Oh,
tidak mungkin!”
“Kenapa
tidak?”
“Aku
sekarang hanyalah seorang buruh perkebunan. Kerjaku setiap hari memetik
strowbery dan anggur…”
“Itu
terapi yang bagus untuk jarimu. Aku yakin kamu masih bisa menjadi pianis
hebat!” seru Mahisyah sambil menarik tangan Karenina ke atas panggung. Karenina
tidak bisa mengelak ajakan Mahisyah. Jiwa seninya seolah mendadak terpanggil
kembali.
Lalu
keduanya pun duduk berdampingan di depan piano, disambut tepuk tangan para
hadirin yang menyaksikan. Mahisyah dan Karenina bermain piano bersama,
memadukan nada-nada yang melantun dari jiwa mereka.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar