Selasa, 25 Februari 2014

KISAH DARI NEGERI MELODI



Ia bernama Karenina. Tinggal di sebuah desa terpencil dengan impian besar menjadi seorang  pianis terkenal. Meski pekerjaan para orangtua hanyalah seorang penggarap kebun, tetapi semua anak seusia Karenina di negeri ini wajib  memiliki keahlian di dunia seni. Ada yang pandai bernyanyi, bermain biola, gitar, piano dan alat musik lainnya.
Saat usianya 12 tahun, Karenina sudah mahir bermain piano dan banyak meraih penghargaan sebagai pemain piano berbakat di tingkat kota. Ia sangat mengidolakan Mahisyah, seorang pianis terkenal yang selalu berkostum ala Cinderella disetiap penampilannya.
***
Suatu hari di pusat kota, Karenina membaca papan pengumuman yang berisi tentang pertunjukkan musik di kota seberang. Acara itu dihadiri oleh Mahisyah. Ia lalu berniat akan menghadiri acara tersebut agar dapat bertemu Mahisyah dan menunjukkan kemampuannya berpiano.
Saat yang dinanti pun tiba. Disela acara yang tengah berlangsung ramai itu Karenina berjalan mendekati Mahisyah yang sedang duduk anggun dengan baju kebesarannya. Sementara Karenina yang menggunakan gaun pesta bernuansa putih dan perak, tak sedikitpun berhenti membentangkan senyum pada sang idola. Mahisyah membalas senyum Karenina dengan uluran tangan tanda perkenalan.
“Selamat malam Mahisyah, perkenalkan aku Karenina,” sapa Karenina dengan sopan.
“Selamat malam. Senang berkenalan denganmu, gadis  cilik!” jawab Mahisyah ramah.
“Aku bermaksud meminta pendapatmu…” Karenina mulai memberanikan diri.
“Oh ya? Tentang apa?” tanya Mahisyah dengan mata berbinar.
“Tentang permainan pianoku. Aku sangat mengidolakanmu,” tutur Karenina dalam satu tarikan napas.
Mahisyah tampak diam seketika. Mengedarkan pandangan pada gadis cilik di hadapannya itu dengan teliti. Membuat degub Jantung Karenina berdetak tak menentu.
“Kita ke belakang panggung saja kalau begitu,” ucap Mahisyah mengejutkan. Bergegas ia berdiri dan berbisik pada seseorang untuk menyiapkan piano di belakang panggung.
Tak berapa lama, Karenina sudah terduduk di depan piano. Dengan gaun pesta yang menjuntai kain perak di bagian belakang tubuhnya, juga pita rambut berwarna putih menghiasi kepalanya yang berponi, Karenina memulai permainannya dengan tenang.  Diam-diam ia berharap, Mahisyah akan mengajaknya berkolaburasi. Memainkan piano berdua dengan dentingan hebat dan menginspirasi para calon pianis di seluruh dunia. Jari-jari lentiknya terus bergerak lincah menekan tuts berwarna hitam dan putih itu.
Namun apa yang terjadi? Baru hitungan menit Karenina memainkan piano, Mahisyah terlihat berdiri lalu meninggalkan tempat begitu saja. Langkahnya yang tergesa-gesa seolah tak memberi kesempatan pada Karenina untuk menuntaskan permainannya hingga akhir.
Deg! Sesaat Karenina merasakan degub jantungnya berhenti. Gadis cilik itu dilanda kebingungan. Sambil menatap kepergian Mahisya, mata Karenina berkaca-kaca menahan tangis. Pertemuan itu sungguh membuatnya merasa tak berharga. Ia malu dengan dirinya sendiri. Ternyata permainan pianonya di hadapan Mahisyah belumlah seberapa dibandingkan prestasi yang telah diraihnya selama ini. Lalu apa yang bisa diharapkannya sebagai penduduk Negeri Melodi?
Karenina berlari meninggalkan gedung pertunjukkan musik dengan hatinya yang telah hancur. Harapannya hilang sudah. Tak ada gunanya ia teruskan mimpi besar itu. Tak ada yang perlu diperjuangkannya lagi kecuali melanjutkan hidupnya di desa terpencil.
***
Kini Ia bekerja membantu orangtuanya sebagai pemetik strowbery dan anggur di kebun buah milik Tuan Harry. Perlahan, Karenina mulai mengubur mimpi besarnya yang pernah ada. Berbagai lomba musik pun ia lewati, karena segala yang berhubungan dengan musik sudah tak ingin disentuhnya lagi.
 Lima tahun telah berlalu sejak Karenina bekerja di perkebunan. Seperti biasa, Tuan Harry mengadakan acara yang cukup mewah untuk memeriahkan pesta panen. Sebagai penduduk negeri Melodi, Tuan Harry menggelar pesta musik rakyat dengan mengundang pianis wanita terkenal di masa itu. Siapa lagi kalau bukan Mahisyah?

 Mendengar nama yang tidak asing di telinganya, Karenina pun teringat peristiwa yang sangat memalukan itu. Ia beranikan diri menemui Mahisyah dengan sisa kecewa yang masih ada.
“Mahisyah, ingatkah kamu denganku?” tegur Karenina tanpa senyum.
“Tentu aku ingat. Kamu gadis cilik yang pernah menunjukkan permainan pianomu, bukan?” jawab Mahisyah lancar.
“Iya, betul. Kenapa malam itu kamu meninggalkanku begitu saja? Apa kamu tidak tahu, sikapmu benar-benar membuatku merasa tidak berharga...” ungkap Karenina dengan wajah sendu.
“Oh, aku tidak meninggalkanmu, Karenina! Malam itu aku bergegas  memanggil ayahku untuk menyaksikan penampilanmu yang luar biasa itu. Gaunmu, permainanmu, sungguh mengagumkan!” kata Mahisyah menjelaskan.
“Mengapa kamu tidak bilang? Setidaknya aku bisa tahu bahwa kamu tidak sedang mengacuhkanku,” sahut Karenina cepat.
“Itu bukan kebiasaanku. Aku tidak pernah diajarkan mengganggu seseorang yang sedang melantunkan nada dari jiwanya,” Mahisyah membela diri.
  Karenina membisu. Matanya kembali berkaca-kaca menyesali sikapnya yang salah dalam menilai seseorang.
“Perlu kamu ketahui, sejak malam itu aku sudah merubah penampilanku. Lihat, kini gaunku tidak seperti Cinderella lagi,” Mahisyah berputar pelan di hadapan Karenina. “Penampilanmu malam itu sudah menginspirasiku dan membuat penggemarku di negeri ini semakin banyak!”
Karenina terperangah. Matanya membelalak kaget menyadari perubahan Mahisyah yang bergaun persis seperti gaun yang dikenakannya di malam menyedihkan itu.
“Aku sangat berterimakasih padamu Karenina. Bagaimana kalau kita berkolaburasi? Kita guncang negeri ini dengan dentingan piano dari jari-jari cantik kita!” ajak Mahisyah penuh semangat.
“Oh, tidak mungkin!”
“Kenapa tidak?”
“Aku sekarang hanyalah seorang buruh perkebunan. Kerjaku setiap hari memetik strowbery dan anggur…”
“Itu terapi yang bagus untuk jarimu. Aku yakin kamu masih bisa menjadi pianis hebat!” seru Mahisyah sambil menarik tangan Karenina ke atas panggung. Karenina tidak bisa mengelak ajakan Mahisyah. Jiwa seninya seolah mendadak terpanggil kembali.
Lalu keduanya pun duduk berdampingan di depan piano, disambut tepuk tangan para hadirin yang menyaksikan. Mahisyah dan Karenina bermain piano bersama, memadukan nada-nada yang melantun dari jiwa mereka.  
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar