Pelangi masih membentang di ujung langit sore. Bau khas daun basah
merebak diantara desir angin hantarkan sang waktu pada senja nan syahdu. Lelaki
berlesung pipi itu menghela nafas panjang. Sudah tiga hari ini sepucuk surat
bertinta biru mengubahnya menjadi pendiam.
Sungguh ia masih ingin menikmati hari-hari kebersamaan. Tapi belum
saatnya kejadian ini hadir, Nania sudah terlanjur memutuskan.
“Maaf kita putus.” Begitu bunyi pesan Nania pada baris terakhir.
***
“Si Gadis Cokelat ya? Cantiknyaa!” seru Gun saat Rio mengklik album foto
adik angkatnya di facebook.
“Iya. Gadis cokelat yang cantik! Tapi…”
“Tapi kenapa ?” ucapan Rio membuat Gun penasaran.
“Ng… enggak. Udah lama gue enggak ada yang nawarin sebatang cokelat. Gue
cuma mau tahu kabarnya, syukurlah dia baik-baik saja.”
“Oooh, cinta terpendam nih ceritanya ?” ledek Gun.
“That’s impossible! Biarpun gue
dan Nania saudara angkat dan sah-sah saja berhubungan layaknya orang pacaran,
tapi gue udah anggap dia adik sendiri, Bro. Jauh sebelum Papa Anwar meninggal,”
tegas Rio.
“Oke. Kalau begitu gue aja yang pacarin dia, ya! Gimana?”
Rio termenung sesaat. Bagaimana ia harus menceritakan pada sahabatnya
tentang kondisi Nania yang sesungguhnya? Sejak menjadi yatim piatu keberadaan
Nania menjadi sengketa tersendiri di keluarga besar orangtuanya. Seringkali
Nania tidak pulang ke rumah demi menghindari para Om dan Tante yang ingin
menguasai semua peninggalan Papanya.
Sebagai anak adopsi di keluarga itu Rio tidak punya hak apa-apa. Kalaupun
ia disuruh hengkang dari showroom
mobil, perusahaan yang diamanatkan papa angkatnya dulu, ia akan menurut saja.
Yang penting Nania. Tidak ada satu orang pun yang boleh menyakitinya.
Tapi sudah lima bulan ini Rio baru merasa kehilangan. Serbuk haram telah menggerogoti tubuh adik
angkat tersayangnya itu. Kini Nania menggantungkan hidupnya pada narkoba.
“Serius lo, mau pacarin dia?” tanya Rio pada Gun.
“Ya seriuslah, apa tampang gue ini kurang meyakinkan?”
“Dia ‘pemakai’, Bro…” ungkap Rio pelan.
Glekk! Gun tercenung sesaat. Lalu tersenyum lebar menampakkan lesung
pipinya.
“So what Bro? Kan kita bisa
kirim dia ke tempat rehabilitasi.”
Rio hanya menggelengkan kepala. Tak pernah terpikirkan menyerahkan Nania
ke tempat yang disarankan sahabatnya itu. Sungguh, ia menyayangi Nania seperti
adiknya sendiri.
“Terserah deh. Gue percaya lo, Bro!”
***
Nania menyambut Gun dengan segenap hati. Tak ada yang diragukan dari
cinta lelaki berlesung pipi itu. Hari-hari menjadi berubah warna baginya.
Terkadang bagai angkasa malam yang selalu bertabur bintang, kadang pula seperti
bumi yang berlimpah sorot purnama. Hanya satu kata untuk suasana hati Nania
sejak Rio mengenalkan Gun beberapa waktu lalu.
Indah.
Hingga suatu hari saat mereka berbincang dalam mobil. Sementara Gun
berada di depan kemudinya, Nania tak sengaja melihat foto pengumuman sebuah
acara di smart phone kekasihnya.
“Kamu mau ngapain?” Nania memperlihatkan tulisan di layar smart phone.
“Biasaaa. Kopdaran sama temen-temen,” jawab Gun santai. Dalam benak ia
berpikir mungkin kini saatnya menyadarkan Nania.
“Mm, maksud kamu?”
“Ya, selain sebagai karyawan, aku kan juga seorang Blogger.”
“Trus apa hubungannya Blogger sama…” Nania menghentikan kalimatnya.
Lidahnya mendadak kelu.
“Kenapa? Kok kayak orang bingung? Jelas-jelas ini tertulis PERAN BLOGGER
REPORTER DALAM MEMBERANTAS PENYALAHGUNAAN NARKOBA,” Gun coba menangkap gelisah
di raut wajah Nania.
“Kamu ikut ya?” ajak Gun mencairkan suasana.
Nania menggeleng cepat, “Oh, aku kan bukan Blogger!”
“Nggak masalah. Yang penting kan informasinya. Sekarang itu peredaran
narkoba sudah merajalela. Banyak korban di mana-mana. Tua, muda, remaja, bahkan
anak-anak. Apalagi yang sudah kecanduan. Tinggal tunggu over dosis, malaikat
maut dateng deh!” pancing Gun dengan nada bercanda.
Nania menyembunyikan wajah gusar dengan terus mengutak-atik smart phone
kekasihnya itu. Sungguh, ia tak mau Gun tahu!
“Kasian ya kalau sampai over dosis. Biasanya para pemakai itu hanya ingin
terbebas dari masalah yang mengekang hidupnya,” ucap Nania lirih tanpa
mengangkat wajah.
“Itulah ironinya. Mereka tidak berpikir panjang bahwa dengan mengonsumsi
narkoba justru masa depannya sedang terancam. Lihat berapa banyak sudah orang
mati sia-sia? Masyarakat juga banyak yang belum tahu. Bahwa orang-orang yang
sudah kecanduan itu seharusnya dibawa ke rehabilitasi untuk disembuhkan. Bukan
ke kantor polisi untuk dipenjara.”
“Apa bisa sembuh?” tanya Nania serius. Gun mengangguk pasti.
“Harus bisa!” tegas Gun singkat.
“Tapi aku nggak bisa…” ucapan Nania yang melemah membuat Gun menghentikan
mobilnya di tepi jalan.
“Ada apa Nania?” tanya Gun pelan.
“Aku nggak ngerti ya! Aku kok merasa kamu sedang menyudutkan aku.”
“Loh, siapa yang menyudutkan kamu? Dari tadi kan kita bahas acara bareng
temen-temen Bloggerku.”
Nania terdiam. Rautnya berubah emosi. Pandangannya tajam mengarah ke
terotoar jalan. “Aku pemakai, Gun. Tapi jangan paksa aku untuk berhenti!”
Gun tertunduk sadar. Terntata belum saatnya ini dibicarakan. Ia hanya
tidak ingin Nania semakin bergantung pada obat terlarang itu.
***
Sore semakin mendung. Gun masih memandangi kertas bertinta biru itu.
Wajahnya nampak murung. Beberapa detik kemudian dia meremas kertas itu. Baru
saja akan dilemparnya remasan kertas itu ke ranjang sampah. Tuba-tiba terdengar
suara berseru.
"Tunggu....!" tampak Rio berlari ke arahnya.
“Gue harus
menghargai keputusan Nania, Bro! ” suara Gun bergetar. Remasan kertas tadi
dilemparkannya ke Rio.
Rio menangkap dengan sigap. "Serius lo, Bro?"
Gun tercenung. “Entahlah. Mungkin
memang cara gue yang salah!”
“Hahaa… gue baru tau lo bisa mellow
juga, Bro. Nih, ada titipan cokelat. Ada suratnya pula. Bacalah!” gantian Rio
kini yang melempar.
Gun membukanya dengan setengah heran.
Hai, Gun. Apa
kabar?
Ini cokelat
buatmu. Terimakasih sudah membuatku tersadar.
Bersamamu aku
utuh!
Love,
Nania
“Oh, my Goodness!” Gun mengecup
surat Nania.
“Dia ada di RSKO,” seru Rio tanpa ditanya.
“Oke, gue ke sana dulu ya, Bro!”
“Sip!”
***