Kabarnya sejak pertama kali didirikan, madrasah negeri tempat
anak-anakku sekolah belum menggunakan model penyaringan untuk menerima
calon siswa-siswinya. Semua peminat madrasah pun tak perlu bersaing atau
khawatir buah hatinya tidak diterima karena memang kuotanya masih
tersedia.
Baru di tahun 2009 pihak madrasah melakukan
penyaringan. Dan ini sudah berlaku saat puteraku yang kedua kudaftarkan.
Kini setiap tahunnya madrasah kebanjiran peminat sehingga tahap
penyeleksian calon siswa selalu menegangkan para orang tua. Otomatis
hanya 80 siswa-siswi dengan nilai tertinggi saja yang bisa diterima.
Selebihnya, silakan mencari sekolah dasar umum.
Jujur, aku pernah
merasakan dahsyatnya kegalauan saat mendaftarkan anak keduaku di sini.
Bagaimana tidak? Motorku yang tadinya berada dalam barisan penuh sesak
di parkiran kendaraan, menjadi tinggal sendirian saja setelah
pelaksanaan tes ujian masuk berlangsung dua jam. Parah! Berarti kan cuma
aku dan anakku saja yang belum pulang. Masya Allah... Susahkah
soal-soalnya?
Ya begitulah. Ternyata memang susah. Alhamdulillah anakku bisa lolos ujian masuk meski paling buntut.
*kembali ke topik*
Berhubung
dulu madrasah cenderung menerima sebagian besar penduduk sekitar yang
notabene berada dalam garis ekonomi tidak begitu kecukupan, maka hal
tersebut berimbas pada detik-detik PERPISAHAN kelas enam tahun ini
(sulungku dan teman-temannya) yang tinggal hitungan minggu.
Posisi
gedung yang berada di tengah pemukiman penduduk asli setempat (betawi),
menyebabkan beberapa siswa-siswi mayoritas berasal dari keluarga
berlatar belakang kurang pendidikan. Bukan berarti orang tua mereka
tidak sekolah meski memang beberapa tercatat lulusan SD, tetapi tradisi
yang berkembang di sini mungkin sekolah hanya dianggap “sekedarnya”
saja. Akibatnya, mereka jadi tidak memiliki peningkatan taraf hidup yang
membaik. Seperti dialami seorang bapak yang juga ayah kandung seorang
artis. Menurut adik tiri sang artis (yang kabarnya sedang buron ini),
sudah lama si bapak tidak terdengar kabar. Baru beberapa minggu ini
terdengar masuk penjara. Duh, kakak tirinya buron… bapaknya di penjara…
Bagaimana nasib anak ini?
*Dan dari sinilah kisah mengharukan itu berawal...
Acara
MABIT (malam bina iman takwa) yang rutin diadakan sebagai momen
terakhir kebersamaan anak-anak usai ujian nasional berlangsung, cukup
menuai dilema. Pasalnya acara yang memakan dana ratusan ribu per anak
itu dirasa memberatkan. Tentunya hal ini tidak dirasakan oleh sebagian
orang tua dengan latar belakang ekonomi mencukupi. Lagipula, program
menabung di kelas enam lumayan gencar digemakan oleh guru. Salah satu
tujuannya adalah untuk meringankan beban biaya di penghujung kelas enam
nanti. Tetapi lain cerita saat fenomena ini sampai ke hadapan orang tua
atau wali murid yang secara latar belakang ekonomi keluarganya
kekurangan.
Berbagai tanggapan pun bermunculan, dari mulai
yang bernada lembut hingga kebalikannya. Yang pasti suara-suara
memprihatinkan ini cukup membuat kami para pengurus kelas mengelus dada
setelah kening kami berkerut semua. Demi menelusuri kondisi terkini para
orang tua, kami sengaja melakukan kunjungan ke beberapa rumah siswa.
“Mamanya baru kecelakaan Bu, mana lagi hamil, yang nabrak lari lagi!” kata seorang bapak mengadukan keadaan keluarganya di sebuah rumah kontrakan yang sempit dan kumuh.
“Bengkel Bapaknya lagi sepi Bu, ya mudah-mudahan sih bisa kebayar…”
“Itu duit semua tuh? Ini aja baru napas abis lunasin uang kuliah kakaknya, eh ada lagi yang nyusul…”
“Kalo saya sih jujur nggak sanggup Bu, hasil nyuci aja cuma pas buat beli beras…”
“Cucu
saya sih emang nggak ada orang tuanya Bu. Bapaknya meninggal, ibunya
kawin lagi, anak-anaknya ditinggalin sama saya semua. Jadi ya harap
maklum ya Bu, mudah-mudahan ibu-ibu pengurus pada sehat semua, sukses
acaranya, anak-anak pada seneng!” ungkap seorang nenek dengan bijak dan menyemangati kami.
Subhanallaaah…! Miris rasanya.
Di
sisi lain, aku dan teman-teman juga coba mengakomodir harapan anak-anak
mengenai format acara perpisahan yang mereka kehendaki. Salah satu
acara yang mereka idam-idamkan memang begitu kuat memohon ke vila yang
ada kolam renangnya.
“Kita mau refreshing Bundaaa! Kan capek selama kelas enam ini belajar terus…” begitu paduan suara anak-anak generasi masa depan kami berkomentar.
Rasanya
terenyuh sekali hati ini, melihat wajah-wajah polos dan lelah merengek
manja, sementara sebagian besar orang tua mereka banyak yang keberatan
dengan dana yang harus disiapkan.
“Gimana kalau kita bermalam di lapangan voli depan sekolah saja? Kita buat tenda dan api unggun. Pasti menyenangkan juga!” usulku menyarankan.
“Yaaah, kita kan mau berenang juga Buund! Lagian kan yang tahun-tahun kemarin juga acara mabitnya di vila, masa kita enggak?” lagi-lagi paduan suara itu menyentuh jiwa.
Masya Allah…!
Apakah
etis bila kami sampaikan bahwa orang tua merekalah yang menjadi
pertimbangan terkuat. Bahwa mayoritas kelas enam tahun ini faktanya
memang berisi keluarga kurang mampu. Bahkan hampir enam puluh persen
tercatat dalam daftar penerima BSM (Bantuan Siswa Miskin), sudah
termasuk di dalamnya sebelas siswa-siswi yang yatim. Sedangkan total
jumlah anak-anak kelas enam tahun ini hanya enam puluh tujuh orang.
Terbayang betapa beratnya pula bila kami harus melakukan subsidi silang.
Bagaimana cara kami mengkomunikasikan hal memprihatinkan ini pada
mereka? Sementara kami juga merasa harus bertanggung jawab untuk
mengkondisikan jiwa mereka sebaik mungkin dalam menghadapi detik-detik
ujian ini.
Pihak madrasah pun sudah menyarankan agar
kami tidak memaksakan diri. Tetapi wajah anak-anak yang polos dan lelah
itu selalu terngiang. Membuat kami terpacu untuk melakukan yang terbaik
sesuai harapan mereka.
“Begini saja Pak, kami akan
berusaha mencari dana, saya yakin masih banyak orang di luar sana yang
mau berbagi keberkahan hidupnya. bila tidak mencukupi juga kita akan
mempertimbangkannya lebih lanjut. Mohon do’a restu Bapak saja, semoga
kami bisa mengumpulkan dana,” kataku dan teman-teman pada bapak kepala madrasah. Ucapan yang tegas diiringi optimisme yang memuncak di lubuk hati terdalam.
Dan...
Allahu Akbar! siapa yang mengira bahwa ternyata perjuangan kami
mendapat sambutan yang cukup melegakan. Guru dan orang tua murid yang
berkenan menjadi donatur, juga teman-teman sharing kami di fesbuk dan
BBM yang bersedia membiayai satu sampai dua anak yatim setelah menyimak
curhatan kami. Alhamdulillah. Rezekinya anak-anak!
Akhirnya kami sepakat untuk mewujudkan harapan mereka.
Meski
harus berhadapan dengan masalah dana, kami akan berusaha meluluskan
keinginan anak-anak demi mengakhiri masa-masa terindah dan fenomenal
setelah enam tahun mereka bersama.
Semoga Allah meridhoi. Amiin Ya Robbal ‘Alamiin…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar