Sabtu, 05 April 2014

Jangan Buat Pasien TB Jadi BeTe



Tuberkolosis itu pernah jadi momok yang menakutkan buat saya. Melebihi nonton film horor gitu deeeh. Jadi, saya sangat sensitif dengan batuk. Sayangnya saya agak telat mengetahui info kampanye sembuhkan TB ini. Andai saya tahu dari awal mungkin saya akan mencatat dan merekam kronologis penemuan saya secara terperinci. Halah... nemu pasien Tuberkulosis aja kayak nemu inovasi terbaru dalam dunia teknologi. Hehee..

             Ya. Karena tepat seminggu yang lalu saya mendapat kabar seorang ibu-ibu teman ngobrol di rumah positif menderita TB. Pasalnya, hampir satu bulan diam-diam saya perhatikan teman saya itu batuk-batuk. Katanya sih sudah minum berbagai macam obat yang dibelinya di toko obat langganan, tapi batuknya tidak kunjung hilang. Saya jadi teringat 17 tahun lalu saat mengalami hal yang sama. Batuk-batuk lama sekali sampai beberapa kali gonta-ganti obat tetapi hasilnya nihil. Hingga akhirnya demam tinggi dan badan rasanya ngedrop sekali.


Saat itu saya sarankan teman untuk memeriksakan diri ke dokter. Tidak perlu dokter yang mahal. Puskesmas kelurahan tempat kami tinggal pun melayani pasien TB. Gratis pula! Untuk pemeriksaan sputum (dahak) di laboratorium, pihak puskesmas akan membuat surat rujukan ke puskesmas kecamatan yang fasilitasnya lebih lengkap.
 Saya langsung mengajak dan mendampingi teman itu ke puskesmas. Usai berobat, teman saya diberi obat antibiotik, obat batuk, obat untuk radang dan CTM. Gratis nih semuanya. 


Kata dokter, bila dalam empat hari masih batuk, harus datang lagi untuk cek laboratorium.
Ruang khusus pasien TB di puskesmas kelurahan saya tinggal
Beruntunglah sekarang ada puskesmas gratis dan tersosialisasi dengan baik. Tidak seperti saya di tahun 1996 dulu. Zaman yang masyarakatnya masih sungkan berkunjung ke puskesmas. Berobat ke dokter untuk penyembuhan TB bisa habis biaya sebesar tiga puluh sampai empat puluh lima ribu setiap kali datang. Sebulan saya bisa datang tiga kali untuk disuntik dan menebus lima macam obat selama enam bulan berturut-turut. Mungkin teman saya kembali ke dokter setelah kondisinya tidak ada perubahan. Dan hasil cek laboratorium meyakinkan dia terkena TB. Setelah saya tanya kenapa dia tidak minta saya temani lagi untuk periksa yang kedua kalinya? Dia jawab, "Malu..."
Hmm, memang sedih sih. Penyakit menular ini cukup membuat penderitanya kepikiran tidak punya teman, karena semua orang akan menghindar darinya. Bete banget kaaan? 
 Dulu waktu terkena TB, saya masih duduk di bangku kuliah semester lima.  Banyak faktor yang menjadi penyebab saya terserang penyakit ini. Mengendarai motor saat pergi dan pulang ke kampus tanpa menggunakan masker, lelah yang menjurus ke stres, juga pergaulan dengan teman-teman perokok yang cukup intens. Yah, maklumlah, teman saya lebih banyak kaum adam. Abis, kaum hawanya suka gosip gak jelas gitu sih... Bikin bete jadinya. Nah, bete lagi kaaan? Hehee..

Tadinya saya tidak menghiraukan batuk-batuk yang hampir beberapa minggu menyiksa. Gatal di tenggorokan, batuk berdahak, dan sakit di dada akibat kebanyakan berguncang karena batuk. Berbagai obat warung sudah saya coba. Tetapi hanya sembuh sebentar, lalu batuk lagi. Terakhir saya coba obat batuk baru lagi, dan hasilnya tetap nihil. Tak berapa lama kemudian saya diserang demam tinggi hingga badan terasa benar-benar ngedrop. Setelah ke klinik dokter Rosmalia -dokter langganan keluarga- saya diberi informasi seputar penyakit TB yang sedang menjangkit usia muda seperti saya. 
O, ya. Dokter yang saya kunjungi itu dokter umum yang tak pernah sepi pasien. Artinya, ada dua kemungkinan nih : dokternya bagus atau resep obatnya yang bagus (banyak yang cocok). Dokter yang bagus itu menurut saya yang mau memberi banyak penjelasan kepada pasiennya. Ramah dan murah senyum. Kalau perlu penampilannya itu yang gaul bangetlah. Ini terbukti lho! Dokter Rosmalia seringkali bersiul dan bersenandung saat menulis catatan medis saya di kartu berobat. Kebetulan dalam waktu yang bersamaan dengan saya berobat, ada 7 pasien TB yang sedang ditangani oleh dokter tersebut. Sehingga total pasien menjadi 8 orang dengan saya. Dan beliau seringkali menceritakan perkembangan pasien-pasien TB-nya. Tapi, kata dokter, kami berdelapan ini termasuk yang buru-buru terdeteksi. Belum ada yang sampai batuk berdarah atau demam berkepanjangan. Yah, bagus deh dok! Untungnya dulu belum ada istilah gathering ya! Bisa-bisa, dokter gaul itu membuat gathering pasien TB-nya pada malam tertentu buat periksa kesehatan bareng. Wehehee...
 Waktu pertama kali mengeluhkan penyakit ke dokter, saya diminta memeriksakan dahak pagi hari dan air seni ke laboratorium. Setelah terdeteksi ada kuman TB, barulah dokter menyatakan positif dan menjelaskan secara detail bahwa penyakit ini disebabkan oleh kuman bernama mycobacterium tuberculosis yang dapat menular ke orang lain hanya dengan kontak udara akibat terkena percikan batuk. Karena itu saya harus berhati-hati bila batuk. Jangan sampai keluarga saya di rumah kena percikan batuk saya. Kalau kena, tertularlah semua. Dokter juga menegaskan agar saya tidak menyampaikan ke teman-teman di kampus tentang penyakit ini. Karena imbasnya bisa-bisa saya tidak ditemani lantaran penyakit ini sangat mudah menular.
 Hari-hari saya selanjutnya adalah obat dan obat. Belum lagi suntik setiap 10 hari sekali. Selain itu, setiap pagi saya merasa seperti bayi baru lahir. Berjemur matahari, minum susu dan mengonsumsi 2 butir telur ayam kampung, lalu ditutup dengan dua sendok madu. Menjelang siang, ibu saya sudah menyiapkan air rebusan kacang hijau yang baru merekah saat dimasak. Dan saya minum hangat-hangat sebanyak satu gelas. Bubur kacang hijau pun menjadi menu saya setiap hari. Kata ibu, tubuh saya ini harus banyak mengasup makanan yang kaya akan vitamin. Begitupun dengan sayur dan lauk pauk. Bayam, wortel, ati ayam, daging dan buah. Semuanya harus saya konsumsi setiap hari supaya lekas sehat dan berat badan saya bisa cepat bertambah. Karena kesehatan penderita TB hanya bisa dilihat dari berat badan yang terus bertambah serta tarikan nafas yang bersih saat didengar dokter melalui stetoskop.
Setelah enam bulan berobat rutin, akhirnya dokter menyatakan saya sembuh. Melihat saya yang sering membawa buku saat mengantri di kliniknya, dokter menebak saya adalah aktivis kampus yang tentunya punya banyak teman. Saya ingat sekali percakapan dengannya saat detik-detik saya dinyatakan sembuh dari TB.
"Kamu pasti banyak teman di kampus ya? Dan teman-teman kamu pasti mengetahui penyakit yang kamu derita beberapa bulan belakangan ini," tebaknya tanpa meleset.
"Iya Dok, hampir setiap hari saya makan siang bersama mereka di kantin kampus. Dan saya meminum obat dari dokter juga di hadapan mereka. Bagaimana saya bisa menyembunyikan ini? Saya pikir, sudah resiko saya bila dijauhi teman. Justru dengan begitu, saya jadi tahu mana diantara mereka yang layak dijadikan sahabat," jawab saya panjang lebar.
"Oke. Saya paham. Sekarang kamu sudah sembuh. Saya akan beri kamu kartu pernyataan sebagai bukti bahwa kamu sudah terbebas dari penyakit ini. Silakan nanti ditunjukkan ke teman-teman ya!" jawab dokter tegas dan saya balas dengan senyum puas.
Sesungguhnya saya tidak butuh kartu pernyataan itu. Cara penanganan dokter yang bersahabat dan terbuka mengenai informasi seputar TB sudah sangat membunuh kebetean saya. Masalah saya tidak ditemani atau tetap ditemani di kampus gara-gara TB, biarlah menjadi seleksi alam. Toh saya melakukan pengobatan rutin hingga tuntas ini bukan semata-mata untuk kepentingan pribadi. Tetapi untuk orang-orang tercinta di sekeliling saya. Dan ini yang terpenting : sahabat dan keluarga saya tidak ada yang tertular.  
Semoga pengalaman ini bermanfaat buat siapapun yang membaca. Jangan buru-buru berpendapat TB itu penyakit yang membuat jarak kita dengan sahabat atau keluarga menjadi jauh. Lebih baik buru-buru temukan gejalanya agar penderitaan tidak berlanjut ke tingkat yang lebih parah. Saya sendiri tidak bisa membayangkan bila dulu tidak disiplin berobat. Kuman yang bersarang akan lebih ganas dan tidak mempan dimatikan lagi dengan obat dari dokter. Dalam dunia medis, fenomena ini dikenal dengan MDR Tb, yakni penyakit TB dengan kuman yang sangat sulit dimatikan. Selain obatnya lebih mahal, tingkat penanganannya pun semakin tinggi. Lama-lama dokter TB jadi ikutan BeTe nih. Ckckck...  Smangat ya, Dokkk!
Kini teman yang saya ceritakan di atas tadi sedang dalam masa pengobatan. Berjuang melawan kuman TB yang menggerogoti tubuhnya dengan mengonsumsi obat secara rutin. Yah, mudah-mudahan dia sadar demi kesehatannya. Bukan karena informasi dari saya tentang data kematian pasien TB yang sudah mencapai 38 orang per 100 orang penderita. Wew, bukan bete lagi ini mah! *merindings*
Hmm, gimana nggak banyak yang meninggal? Saya yakin seratus persen para penderita TB yang harusnya rutin ke dokter selama enam bulan itu pasti malas berobat karena tidak ada yang menyemangati. Atau, sudah dapat obat tapi malas meminumnya. Yah. bagaimana mereka mau semangat kalau keluarga dan sahabat menjauh? yang ada mereka cuma bete, bete dan bete.

Salam Sehat!
===================


Tidak ada komentar:

Posting Komentar