Kamis, 06 Maret 2014

KABAR GEMBIRA UNTUK PECANDU NARKOBA





“Karena sesungguhnya manusia itu berpotensi menampung keburukan. Sedangkan untuk mencapai Tuhannya, manusia tetap membutuhkan bekal kebaikan.”

Begitu pesan sang budayawan merangkap dalang, Sudjiwo Tedjo, dalam lakon wayang kulit berjudul “Polo Teraniaya” di acara Indonesia Lawyers Club (ILC) -TVOne 25 Februari yang lalu. Pertunjukan yang hanya berdurasi lima menit itu juga menghadirkan Polo sebagai narasumber. Namun demikian, pertunjukan singkat ini berhasil mengangkat sebuah wacana baru tentang bagaimana mensikapi para pecandu narkoba yang benar-benar sudah bertaubat.  Sekali lagi penulis tegaskan bahwa tulisan ini ditujukan bagi para pecandu yang sudah bertaubat. Jikalau belum, silakan menunggu sampai over dosis.

Fenomena Pecandu
Kenapa saya katakan menunggu over dosis dulu baru bertaubat? Ini juga hasil mencermati banyak kasus yang ada. Biasanya karena merasakan nikmat yang berlebih, para pengguna akan berangsur menjadi seorang pecandu dan akhirnya mengalami over dosis. Sudah banyak kasus yang bisa dijadikan bukti. Baik kasus luar maupun dalam negeri. Mulai dari “Raja Pop” Michael Jackson yang kehilangan nyawa hingga Roger Danuarta yang tak sadarkan diri.
Meski pada awalnya mereka –para pengguna- itu menjadikan narkoba sebagai “pilihan”. Namun saat perjalanan hidupnya mencapai titik jenuh atau dengan kata lain sudah saatnya untuk tersadar, maka dampak negatif dari pilihan yang salah itu pun akan terasa. Ibarat memasang bom waktu, tiba saatnya akan meledak juga.
Bersyukur bagi mereka yang masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk memperbaiki diri. Sadar dengan sepenuh hati bahwa kenikmatan semu itu sama sekali tidak berarti. Bahkan cenderung menyesati.

Menciptakan Romantisme Bangsa yang Gagah
Banyak sudah para pecandu yang akhirnya menjadi korban antipati masyarakat di sekitarnya. Seperti dipandang sebelah mata, dikucilkan, bahkan tak dianggap lagi keberadaannya. Seperti kita ketahui, beberapa anggota band ternama atau personil lawak yang terjerumus ke dunia ini lalu dikeluarkan dari grupnya. Pemain film, pesepak bola, pesinetron dan banyak lagi publik figur yang mendapat imej buruk di mata masyarakat mengalami kesulitan menghilangkan imej tersebut. Karena itu, sudah saatnya kini kita merubah sikap.
Menyeru pada seorang pecandu untuk direhabilitasi bukanlah perbuatan sia-sia. Menerima kembali mereka yang telah bertaubat pun bukan perbuatan hina. Sikap ini merupakan bagian dari keberanian menatap masa depan anak bangsa. Bukan malah dijebloskan dalam penjara. Bayangkan, bagaimana bila nantinya para pecandu itu bertemu dengan mereka yang seorang pengedar di dalam penjara? Mereka bebas berhubungan dan terus melakukan transaksi sampai masa tahanan mereka selesai. Keluar penjara, apakah mereka sudah bebas dari narkoba? Tentu tidak.
Dalam lakon Polo Teraniaya, sang dalang menuturkan bahwa manusia sejatinya adalah penampung segala hal yang baik maupun yang buruk. Terkait urusan narkoba, manusia menjadi buruk bahkan hina di mata orang banyak. Sikap antipati masyarakat mungkin bisa diterima sebagai hukum sebab akibat. Tetapi sebagai manusia beragama, ia tetap membutuhkan predikat baik. Di sinilah mereka butuh kesungguhan upaya untuk sebisa mungkin melakukan perbaikan diri.  
Hal yang ingin penulis sampaikan di sini adalah bahwa bangsa kita ini sesungguhnya terlahir dari romantisme dua warna yang saling mengutuhkan. Merah dan Putih. Sebagai warna khas bangsa kita, Merah-Putih telah mengajarkan arti keberanian. Yakni berani karena benar dan benar karena berkeyakinan, mengingat bangsa kita adalah bangsa yang beragama (memiliki kepercayaan terhadap Tuhan). Yakin bahwa segala yang baik akan bersanding dengan yang buruk. Yakin bahwa setiap kebaikan akan selalu diuji dengan keburukan. Dengan demikian manusia akan menjadi pribadi yang dinamis karena mampu melalui proses baik dan buruknya sebagai manusia. Demikianlah filosofis dari romantisme Merah-Putih yang selama puluhan tahun telah berkibar di langit Indonesia. Sebuah isyarat bagi romantisme bangsa yang gagah, yang mampu menciptakan negeri aman, damai dan sentosa.
Terkait dengan problematika pecandu, Merah-Putih juga mengisyaratkan tentang keberanian menerima sisi baik dan buruk manusia apa adanya. Bila seorang mantan pecandu tidak diterima lagi oleh lingkungannya, lalu kemana mereka harus bersandar? Melanjutkan kembali hidup yang tertunda. Menggapai mimpi, mengukir prestasi dan ikut serta dalam mencerahkan kehidupan bangsa.

Menuju Indonesia 2015 Bebas Narkoba
Kini bukan saatnya lagi kita biarkan para pecandu itu terlena selama-lamanya. Dalam kacamata medis, mereka adalah pasien yang harus dipulihkan. Bila kebetulan menemui mereka, kita harus berani menyarankan agar mereka mau menjalankan rehabilitasi, dimana salah satu prosesnya adalah detoksifikasi, yakni mengeluarkan zat-zat berbahaya (yang terkandung dalam narkoba) dari dalam tubuh.
Kasi Media Layar Lebar dan Alat Elektronik, Direktorat Diseminasi Informasi Deputi Bidang Pencegahan BNN –Ibu Diah Hariani Surtikanti menjelaskan, “Rehabilitasi adalah program memutuskan ketergantungan penyalahguna terhadap zat berbahaya yang terkandung pada narkotika. Di BNN program ini tidak dipungut biaya alias gratis karena ditanggung oleh pemerintah. Kecuali penyalahguna yang sudah terjangkit penyakit ikutan seperti HIV dan hepatitis. Biaya yang dikenakan ditujukan untuk penggantian obat selama masa rehabilitasi."
Sehubungan dengan informasi tersebut di atas, BNN bekerjasama dengan Blogger Reporter Indonesia (BRID) menggalakkan tahun 2014 sebagai tahun Penyelamatan Pengguna Narkoba melalui program Menulis 10.000 halaman terkait narkoba. Semoga dengan semaraknya tulisan bertema pemberantasan narkoba ini, target di tahun 2015 untuk Indonesia bebas narkoba bisa terwujud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar