“Karena sesungguhnya
manusia itu berpotensi menampung keburukan. Sedangkan untuk mencapai Tuhannya,
manusia tetap membutuhkan bekal kebaikan.”
Begitu pesan sang budayawan
merangkap dalang, Sudjiwo Tedjo, dalam lakon wayang kulit berjudul “Polo
Teraniaya” di acara Indonesia Lawyers Club (ILC) -TVOne 25 Februari yang lalu. Pertunjukan yang hanya berdurasi lima menit itu juga menghadirkan Polo sebagai narasumber. Namun demikian,
pertunjukan singkat ini berhasil mengangkat sebuah wacana baru tentang
bagaimana mensikapi para pecandu narkoba yang benar-benar sudah bertaubat. Sekali lagi penulis tegaskan bahwa tulisan
ini ditujukan bagi para pecandu yang sudah bertaubat. Jikalau belum, silakan
menunggu sampai over dosis.
Fenomena Pecandu
Kenapa saya katakan
menunggu over dosis dulu baru bertaubat? Ini juga hasil mencermati banyak kasus
yang ada. Biasanya karena merasakan nikmat yang berlebih, para pengguna akan berangsur
menjadi seorang pecandu dan akhirnya mengalami over dosis. Sudah banyak kasus
yang bisa dijadikan bukti. Baik kasus luar maupun dalam negeri. Mulai dari
“Raja Pop” Michael Jackson yang kehilangan nyawa hingga Roger Danuarta yang tak
sadarkan diri.
Meski pada awalnya mereka
–para pengguna- itu menjadikan narkoba sebagai “pilihan”. Namun saat perjalanan
hidupnya mencapai titik jenuh atau dengan kata lain sudah saatnya untuk
tersadar, maka dampak negatif dari pilihan yang salah itu pun akan terasa.
Ibarat memasang bom waktu, tiba saatnya akan meledak juga.
Bersyukur bagi mereka yang
masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk memperbaiki diri. Sadar dengan sepenuh
hati bahwa kenikmatan semu itu sama sekali tidak berarti. Bahkan cenderung
menyesati.
Menciptakan Romantisme Bangsa yang Gagah
Banyak sudah para pecandu
yang akhirnya menjadi korban antipati masyarakat di sekitarnya. Seperti dipandang
sebelah mata, dikucilkan, bahkan tak dianggap lagi keberadaannya. Seperti kita
ketahui, beberapa anggota band ternama atau personil lawak yang terjerumus ke
dunia ini lalu dikeluarkan dari grupnya. Pemain film, pesepak bola, pesinetron
dan banyak lagi publik figur yang mendapat imej buruk di mata masyarakat
mengalami kesulitan menghilangkan imej tersebut. Karena itu, sudah saatnya kini
kita merubah sikap.
Menyeru
pada seorang pecandu untuk direhabilitasi bukanlah perbuatan sia-sia. Menerima kembali
mereka yang telah bertaubat pun bukan perbuatan hina. Sikap ini merupakan
bagian dari keberanian menatap masa depan anak bangsa. Bukan malah dijebloskan
dalam penjara. Bayangkan, bagaimana bila nantinya para pecandu itu bertemu
dengan mereka yang seorang pengedar di dalam penjara? Mereka bebas berhubungan dan
terus melakukan transaksi sampai masa tahanan mereka selesai. Keluar penjara,
apakah mereka sudah bebas dari narkoba? Tentu tidak.
Dalam lakon Polo Teraniaya,
sang dalang menuturkan bahwa manusia sejatinya adalah penampung segala hal yang
baik maupun yang buruk. Terkait urusan narkoba, manusia menjadi buruk bahkan
hina di mata orang banyak. Sikap antipati masyarakat mungkin bisa diterima
sebagai hukum sebab akibat. Tetapi sebagai manusia beragama, ia tetap
membutuhkan predikat baik. Di sinilah mereka butuh kesungguhan upaya untuk sebisa
mungkin melakukan perbaikan diri.
Hal yang ingin penulis
sampaikan di sini adalah bahwa bangsa kita ini sesungguhnya terlahir dari
romantisme dua warna yang saling mengutuhkan. Merah dan Putih. Sebagai warna khas
bangsa kita, Merah-Putih telah mengajarkan arti keberanian. Yakni berani karena
benar dan benar karena berkeyakinan, mengingat bangsa kita adalah bangsa yang
beragama (memiliki kepercayaan terhadap Tuhan). Yakin bahwa segala yang baik
akan bersanding dengan yang buruk. Yakin bahwa setiap kebaikan akan selalu
diuji dengan keburukan. Dengan demikian manusia akan menjadi pribadi yang
dinamis karena mampu melalui proses baik dan buruknya sebagai manusia. Demikianlah
filosofis dari romantisme Merah-Putih yang selama puluhan tahun telah berkibar
di langit Indonesia. Sebuah isyarat bagi romantisme bangsa yang gagah, yang
mampu menciptakan negeri aman, damai dan sentosa.
Terkait dengan problematika
pecandu, Merah-Putih juga mengisyaratkan tentang keberanian menerima sisi baik
dan buruk manusia apa adanya. Bila seorang mantan pecandu tidak diterima lagi
oleh lingkungannya, lalu kemana mereka harus bersandar? Melanjutkan kembali
hidup yang tertunda. Menggapai mimpi, mengukir prestasi dan ikut serta dalam
mencerahkan kehidupan bangsa.
Menuju Indonesia 2015 Bebas Narkoba
Kini bukan saatnya lagi
kita biarkan para pecandu itu terlena selama-lamanya. Dalam kacamata medis,
mereka adalah pasien yang harus dipulihkan. Bila kebetulan menemui mereka, kita
harus berani menyarankan agar mereka mau menjalankan rehabilitasi, dimana salah satu prosesnya adalah detoksifikasi, yakni
mengeluarkan zat-zat berbahaya (yang terkandung dalam narkoba) dari dalam
tubuh.
Kasi Media Layar Lebar dan Alat Elektronik,
Direktorat Diseminasi Informasi Deputi Bidang Pencegahan BNN –Ibu Diah Hariani
Surtikanti menjelaskan, “Rehabilitasi adalah program memutuskan ketergantungan
penyalahguna terhadap zat berbahaya yang terkandung pada narkotika. Di BNN
program ini tidak dipungut biaya alias gratis karena ditanggung oleh
pemerintah. Kecuali penyalahguna yang sudah terjangkit penyakit ikutan seperti
HIV dan hepatitis. Biaya yang dikenakan ditujukan untuk penggantian obat selama
masa rehabilitasi."
Sehubungan dengan informasi tersebut di atas,
BNN bekerjasama dengan Blogger Reporter Indonesia (BRID) menggalakkan tahun
2014 sebagai tahun Penyelamatan Pengguna Narkoba melalui program Menulis 10.000
halaman terkait narkoba. Semoga dengan semaraknya tulisan bertema pemberantasan
narkoba ini, target di tahun 2015 untuk Indonesia bebas narkoba bisa terwujud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar